Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan regulasi dalam bisnis fintech lending atau peer to peer (P2P) lending di Indonesia, khususnya setelah beberapa insiden yang melibatkan korban jiwa. Melalui Surat Edaran OJK No.19/SEOJK.06/2023 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI), OJK mencoba menata sejumlah aspek terkait bisnis fintech lending.
Peraturan ini mencakup regulasi terkait suku bunga dan batasan bagi masyarakat yang ingin mengajukan pinjaman di bisnis fintech lending. Sebagaimana disebutkan dalam SEOJK, batas maksimum bunga pinjaman untuk pendanaan konsumtif diatur sebesar 0,3% per hari kalender dari nilai pendanaan. Aturan ini berlaku mulai 1 Januari 2024, dan secara bertahap, pada 1 Januari 2025, besaran bunga pinjaman konsumtif turun menjadi 0,2%, kemudian pada 1 Januari 2026, menjadi 0,1%.
Sementara itu, untuk pinjaman sektor produktif, batas maksimum manfaat ekonomi atau bunga ditetapkan sebesar 0,1% per hari kalender dari nilai pendanaan, berlaku dua tahun sejak 1 Januari 2024 hingga 2026. Pada 1 Januari 2026, aturan ini mengalami penurunan menjadi 0,067% per hari kalender.
OJK juga mengambil langkah untuk membatasi jumlah entitas bisnis fintech lending yang dapat diakses oleh masyarakat. Mereka membatasi agar masyarakat hanya dapat meminjam di maksimal tiga entitas fintech P2P lending. Hal ini bertujuan untuk mencegah peminjam meminjam secara berlebihan di berbagai platform.
Selain itu, dalam upaya melindungi konsumen, OJK menetapkan batasan waktu untuk penagihan oleh kolektor utang. Penagihan hanya dapat dilakukan antara pukul 08.00 hingga 20.00 waktu setempat. Penagihan di luar waktu dan tempat tersebut hanya bisa dilakukan atas dasar persetujuan atau perjanjian dengan penerima dana terlebih dahulu.
Industri fintech menyambut baik regulasi baru ini. Sekretaris Jenderal Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Tiar Karbala menyatakan dukungan terhadap keputusan OJK yang mengatur penurunan suku bunga bisnis fintech lending. Para penyelenggara yang tergabung dalam AFPI menyatakan kesiapan untuk menjalankan peraturan tersebut.
Meskipun demikian, sebagian pihak di industri, seperti Ivan Nikolas, Group CEO PT Akselerasi Usaha Indonesia Tbk, mengungkapkan keprihatinan terkait besaran bunga pinjaman konsumtif yang dinilainya memberatkan industri. Dia menyoroti bahwa pinjaman produktif fintech lending tidak menggunakan agunan berupa fixed asset, sehingga risikonya berbeda. Besaran bunga 0,067% per hari kalender pada 1 Januari 2026 dianggap dapat menutup kemungkinan untuk menyalurkan pinjaman produktif ke sektor UMKM, seperti online merchant dan penjual retail.
OJK berharap bahwa regulasi bisnis fintech lending baru ini akan membuat masyarakat lebih berhati-hati dan memperhatikan kemampuan membayar sebelum mengajukan pinjaman online. Mereka juga mengingatkan masyarakat untuk memastikan bahwa platform fintech yang digunakan terdaftar di OJK.
Dengan adanya aturan baru ini, diharapkan literasi masyarakat tentang aturan main di industri fintech semakin meningkat. Peraturan ini juga dianggap sebagai langkah positif untuk melindungi konsumen dan mencegah praktik pemberian dana yang tidak sehat. Dengan dukungan penuh dari pelaku industri, diharapkan regulasi ini dapat menciptakan lingkungan bisnis yang lebih aman dan terpercaya di sektor fintech P2P lending di Indonesia.
Demikian informasi seputar bisnis fintech lending. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di Nutshell-movies.com.