Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) secara prioritas kepada organisasi masyarakat (Ormas) keagamaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 menjadi topik hangat di tengah masyarakat dan parlemen. Kebijakan ini diambil untuk menjawab keluhan publik mengenai dominasi asing dan pengusaha dalam pengelolaan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menjelaskan selama ini banyak keluhan yang diterima dari berbagai pihak terkait izin usaha pertambangan yang sering kali diberikan kepada investor asing dan pengusaha besar.
“Pak, kenapa IUP itu dikasih ke asing terus? Kenapa IUP itu hanya dikasih ke pengusaha terus? Kenapa tidak bisa dikasih ke kita?” ujar Bahlil menirukan aspirasi yang sering disampaikan kepadanya dan Presiden Joko Widodo.
Menjawab keluhan tersebut, PP Nomor 25 Tahun 2024 hadir sebagai solusi dengan memberikan konsesi Izin Usaha Pertambangan kepada Ormas keagamaan, mengakui kontribusi historis mereka dalam membangun negara.
Menurut Bahlil, keputusan ini juga telah melalui koordinasi dengan kementerian teknis, termasuk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), serta mengacu pada perubahan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara.
“Ormas keagamaan diberikan prioritas karena mereka memiliki badan otonom dan bisnis yang memungkinkan kolaborasi dalam pengelolaan IUP,” jelas Bahlil.
Sebagai contoh, Nahdlatul Ulama (NU) yang memiliki badan usaha yang bisa mengelola tambang secara profesional dan berkontribusi terhadap program sosial. Meski demikian, sistem pengajuan WIUPK bagi Ormas tidaklah mudah. Pemerintah menetapkan syarat ketat untuk memastikan Izin Garap Tambang ini tidak disalahgunakan.
“Ormas harus memiliki badan usaha yang sahamnya dimiliki oleh koperasi. Izin ini tidak bisa dipindahtangankan tanpa persetujuan pemerintah dan pengelolaannya harus memberikan manfaat langsung untuk program sosial,” tegas Bahlil.
Namun, kebijakan Izin Usaha Pertambangan ini memicu kritik dari anggota DPR yang mempertanyakan keadilan dan proses pemberian izin. Harris Turino, anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDI-P, menyoroti bahwa izin tambang seharusnya diberikan melalui proses lelang untuk menjamin keadilan.
“Apakah benar membagikan izin ini sudah sesuai peraturan perundang-undangan atau hanya berdasarkan rasa keadilan sosial?” tanyanya.
Deddy Sitorus, anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI-P, juga menekankan pentingnya memperhatikan hak masyarakat asli yang tinggal di sekitar tambang. Ia mencontohkan kondisi di Kalimantan Utara, di mana masyarakat lokal tidak mendapatkan manfaat dari aktivitas tambang di wilayah mereka. “Keadilan yang paling mendasar dibutuhkan oleh masyarakat asli yang hidup di sekitar tambang,” ujarnya.
Kebijakan pemberian Izin Garap Tambang kepada Ormas keagamaan ini memang menimbulkan perdebatan, namun pemerintah berharap langkah ini bisa memberikan peluang yang lebih adil bagi berbagai elemen masyarakat dalam mengelola sumber daya alam Indonesia.
Demikian informasi seputar jawaban Bahlil soal izin usaha pertambangan di Indonesia. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di Nutshell-Movies.Com.